Monday, October 15, 2012

Rumah Bentuk Joglo

Rumah
Masyarakat Jawa dengan faham jawanya (“kejawen”) sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan primitif, yang memilki sifat-sifat khusus, seperti: mempertahankan suasana hidup selaras (harmonis) dengan lingkungan kehidupan disekitarnya, yang meliputi: keselarasan hubungan antara manusia dan sesamanya (hubungan antara “kawulo” dan “gusti”), serta hubungan antara manusia dengan lingkungan alam disekitarnya (hubungan antara “microcosmos” dan “macrocosmos”). Kebutuhan hidup manusia Jawa, dapat disederhanakan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: “pangan”, “sandang” dan “papan”.Adapun makna kebutuhan pangan bagi masyarakat Jawa disatu sisi adalah tuntutan akan fisik, sedangkan disisi lain, adalah tuntutan metafisik, seperti: spiritual, rohaniah dan simbolik. Selanjutnya orang Jawa membutuhkan sandang untuk memberikan pengamanan kejiwaan (rasa) dan melindungi diri dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan alamiah maupun sosial. Sedangkan kebutuhan akan “papan”, bagi orang Jawa diartikan sebagai kebutuhan akan: “longkangan” (ruang), “panggonan” (tempat untuk menjalani kehidupan), “panepen” (tempat kediaman /”settle -ment”) dan “palungguhan” (tempat duduk/berinteraksi). Selain itu rumah juga mempunyai arti sebagai perlambang bahwa dirinya telah berhasil dalam kehidupan di dunia atau telah mantap kedudukan sosial ekonominya.

Bentuk dari rumah Jawa dipengaruhi oleh 2 pendekatan yaitu :

1. Pendekatan Geometrik yang dikuasai oleh kekuatan sendiri
2. Pendekatan Geofisik yang tergantung pada kekuatan alam lingkungan.

Bentuk rumah tradisional jawa dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan bentuk. Secara garis besar tempat tinggal orang jawa dapat dibedakan menjadi:
1. Rumah Bentuk Joglo
2. Rumah Bentuk Limasan
3. Rumah bentuk Kampung
4. Rumah Bentuk Masjid dan Tajug atau Tarub
5. Rumah bentuk panggang Pe








Bangunan Tradisional Joglo.
Ciri khas atap joglo, dapat dilihat dari bentuk atapnya yang merupakan perpaduan antara dua buah bidang atap segi tiga dengan dua buah bidang atap trapesium, yang masing-masing mempunyai sudut kemiringan yang berbeda dan tidak sama besar. Atap joglo selalu terletak di tengah-tengah dan selalu lebih tinggi serta diapit oleh atap serambi. Bentuk gabungan antara atap ini ada dua macam, yaitu: Atap Joglo Lambang Sari dan Atap Joglo Lambang Gantung. Atap Joglo Lambang Sari mempunyai ciri dimana gabungan atap Joglo dengan atap Serambi disambung secara menerus, sementara atap Lambang Gantung terdapat lubang angin dan cahaya. Menurut Dakung (1987) terdapat beberapa variasi bentuk bangunan
Joglo diantaranya adalah:
(1). Joglo Lawakan,
(2). Joglo Sinom,
(3). Joglo Jompongan,
(4). Joglo Pangrawit,
(5). Joglo Mangkurat,
(6). Joglo Hageng dan
(7). Joglo Semar Tinandhu.
Joglo Limasan, Joglo Semar Tinandhu, Joglo
Sinom, Joglo Jompongan dan Joglo Pangrawit banyak dipakai rakyat biasa, sedangkan Joglo Mangkurat, Joglo Hageng dan Joglo Semar Tinandhu banyak dipakai kaum bangsawan, maupun abdi dalem keratin (pegawai keraton).


Joglo Semar Tinandhu.



Joglo Semar Tinandu (semar diusung/semar dipikul) diilhami dari bentuk tandu. Joglo ini biasanya digunakan untuk regol atau gerbang kerajaan, dengan ciri- ciri :
* Denah berbentuk persegi panjang
* Pondasi bebatur, yaitu tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah disekelilingnya. Diatas bebatur dipasang umpak yang sudah diberi purus wedokan, umpak ini nantinya akan disambung dengan tiang saka.
* Memakai 2 saka guru sebagai tiang utama yang menyangga atap brunjung dan 8 saka pananggap yang berfungsi sebagai penyangga yang berada diluar saka guru. Bagian bawah tiap saka diberi purus lanang untuk disambung ke purus wedokan dan diperkuat dengan umpak
* Terdapat 2 pengeret sebagai penyangga balok tandu
* Memiliki tumpang 3 tingkat yang ditopang balok tandu
* Atapnya memiliki 4 jenis empyak yaitu; empyak brunjung, empyak cocor pada bagian atas dan empyak penanggap serta empyak penangkur dibagian bawah.
* Pada atap terdapat molo
* Menggunakan usuk rigereh, usuk yang pada bagian atas bersandar pada dudur sedangkan bagian bawah bertumpu pada balok pengeret dan dipasang tegak lurus.
* Biasanya digunakan untuk regol ( pintu masuk)
Karena tiang utama/saka guru pada joglo ini tergantikan oleh tembok sambungan, maka ruang di bawah atap yang lebih tinggi mempunyai besaran ruang sebatas di besaran uleng saja. Udara yang ada masih terpengaruh udara luar, namun terasa lebih sejuk karena ada kemiringan atap yang memberikan perbedaan udara antara ruang luar dengan ruang di dalam joglo.












Pada joglo semar tinandu ini udara bergerak secara lurus melalui celah diantara dua tembok sambungan. Pergerakan udara terjadi secara leluasa, langsung pada bagian tengah joglo ini, karena tidak terhalang oleh tembok, namun pada bagian samping kanan dan kiri, udara tidak bisa mengalir ke sisi sebelahnya, karena terhalang oleh tembok sambungan yang sampai ke puncak joglo. Udaara kembali bergerak ke bawah melewati celah menuju ruang di sebelah tembok sambungan, dan mengalir ke berbagai arah.



Joglo Lambang Sari



Joglo Lambangsari merupakan joglo dengan sistem konstruksi atap menerus. Bentuk ini paling banyak dipakai pada bangunan tradisional jawa.

Bentuk joglo yang menggunakan lambangsari, dengan ciri- ciri :
* Bentuk denah persegi panjang
* Memakai pondasi bebatur, yaitu tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah disekelilingnya. Diatas bebatur ini dipasang umpak yang sudah diberi purus wedokan.
* Terdapat 4 saka guru sebagai penahan atap brunjung yang membentuk ruang pamidangan yang merupakan ruang pusat dan 12 saka pananggap yang menyangga atap pananggap (tiang pengikut), masing-masing saka ditopang oleh umpak menggunakan sistem purus
* Memakai blandar, pengeret, sunduk, serta kilil. masing- masing blandar dan pengeret dilengkapi dengan sunduk dan kili sebagai stabilisator.
* Menggunakan tumpang dengan 5 tingkat. Balok pertama disebut pananggap, balok ke dua disebut tumpang, balok ke tiga dan empat disebut tumpangsari, dan balok terakhir merupakan tutup kepuh yang berfungsi sebagai balok tumpuan ujung- ujung usuk atap.
* Uleng/ruang yang terbentuk oleh balok tumpang di bawah atap ada 2 (uleng ganda)
* Terdapat godhegan sebagai stabilisator yang biasanya berbentuk ragam hias ular-ularan.
* Menggunakan atap sistem empyak. 4 sistem empyak yang digunakan : brunjung dan cocor pada bagian atas, serta pananggap dan penangkur di bagian bawah
* Terdapat balok molo pada bagian paling atas yang diikat oleh kecer dan dudur.
* Menggunakan usuk peniyung yaitu usuk yang dipasang miring atau memusat ke molo. Joglo ini juga tidak memiliki emper












penghawaan pada rumah joglo ini dirancang dengan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. rumah joglo, yang biasanya mempunyai bentuk atap yang bertingkat-tingkat, semakin ke tengah, jarak antara lantai dengan atap yang semakin tinggi dirancang bukan tanpa maksud, tetapi tiap-tiap ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahap-tahap dalam pergerakan manusia menuju ke rumah joglo dengan udara yang dirasakan oleh manusia itu sendiri. Saat manusia berada pada rumah joglo paling pinggir, sebagai perbatasan antara ruang luar dengan ruang dalam, manusia masih merasakan hawa udara dari luar, namun saat manusia bergerak semakin ke tengah, udara yang dirasakan semakin sejuk, hal ini dikarenakan volume ruang di bawah atap, semakin ke tengah semakin besar. Seperti teori yang ada pada fisika bangunan,

Efek volume sebenarnya memanfaatkan prinsip bahwa volume udara yang lebih besar akan menjadi panas lebih lama apabila dibandingkan dengan volume udara yang kecil.

Saat manusia kembali ingin keluar, udara yang terasa kembali mengalami perubahan, dari udara sejuk menuju udara yang terasa diluar ruangan. Dapat dilihat kalau penghawaan pada rumah joglo, memperhatikan penyesuaian tubuh manusia pada cuaca disekitarnya.




Sistem penghawaan pada joglo lambangsari ini, seperti pada sistem penghawaan joglo pada umumnya, angin/udara bergerak sejajar, di seluruh ruang terbuka, pada bagian ruang bagian tengah, yang dibatasi tiang utama/saka guru, udara bergerak ke atas, namun kembali bergerak ke bawah. Hal ini terjadi karena joglo lambangsari tidak memiliki lubang ventilasi, karena memang di desain untuk atap menerus.


Sistim Struktur
Sistim struktur bangunan Joglo, menurut Saragih (1983) 14) dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu:
(1). Sistim Struktur Rangka Utama dan
(2). Sistim Struktur Rangka “Pengarak” (Pengikut).
Sistim Rangka Utama Bangunan Joglo terdiri atas tiga bagian, yaitu: “Brunjung”, “Soko Guru” dan “Umpak”.





Pondasi
Pondasi atau “umpak” yang ditinggikan 70cm menggunakan cor beton dan difinish dengan batu wonosari dimaksudkan sebagai cermin bangunan ini berasal. Ciri khas dari pondasi ini adalah tampilan dan posisi pondasi yang berada diatas tanah bukan berada di dalam tanah. Pondasi ini dapat terlihat dengan mata telanjang.








Gebyong
Gebyog merupakan dinding rumah yg terbuat dari kayu. Gebyog memberikan rasa sejuk disiang hari , dan hangat di malam hari. Gebyog yang di gunakan untuk Omah Limasan ( dalem) dibuat dengan motif ukiran Kudus, buatan baru dari kayu tua/lama. Kerangka Gebyog menyatu dengan konstruksi bangunan.






Motif Ukir






Tiang
Rumah Joglo mempunyai 16 buah tiang atau kolom sebagai penopang konstruksi atap yang terdiri dari 4 buah “saka guru” dengan masing masing tiang berukuran (15cm x 15cm) dan 12 buah tiang emper masing-masing berukuran (11cm x 11cm), serta mempunyai 5 buah “Blandar Tumpang Sari” lengkap dengan “kendhit”atau “koloran” yang berfungsi sebagai balok penyiku konstruksi utama bangunan tersebut. Keseluruhan bangunan asli menggunakan material struktur kayu jati dan mempunyai ukuran 8,4 m x 7,6 m.



Masing-masing tiang memiliki nama sesuai dengan letaknya pada bangunan tersebut. Satu atau beberapa tiang yang menyokong atap yang paling tinggi disebut soko guru, tiang yang letaknya lebih luar dari soko guru adalah soko rowo, sedangkan tiang yang menyokong atap bagian paling luar disebut soko emper.

Selain itu, ada beberapa tiang yang digunakan untuk jenis bangunan beratap joglo yang lainnya, yaitu soko bentung, yang letaknya menggantung di antara bagian atap paling atas dengan atap di bawahnya. Sementara itu, soko santen adalah tiang yang tidak langsung menyokong atap, tapi menyokong gelagar panjang pada bangunan besar beratap joglo.


Atap
Atap berbentuk joglo banyak menggunakan material kayu, mulai dari kayu polos sampai kayu yang penuh ornamen. Hal ini mengakibatkan beban yang harus disalurkan untuk sampai ke tanah oleh masing-masing soko cukup berat. Sebenarnya beban yang dipikul oleh soko dapat dihitung, yaitu dengan cara mengetahui luas area penutup atap yang disokong oleh masing-masing soko. Luas area tersebut kemudian dikalikan dengan beban atap per meter persegi, sehingga didapat beban atap yang harus dipikul oleh masing-masing soko atau tiang. Akibatnya, jumlah beban yang disalurkan oleh soko tersebut harus lebih kecil dibandingkan dengan tegangan tanah per sentimeter persegi. Bila beban yang disalurkan oleh soko lebih besar dari tegangan tanah, maka pondasi akan melesak.
Rangka Atap Joglo dibentuk oleh beberapa elemen bangunan, yaitu: (1). Reng, (2). Usuk, (3). “Molo”, (4). “Ander”, (5). “Dudur” dan (6). “Blandar”. Sedangkan Tumpang Sari adalah balok-balok yang disusun dengan teknik tumpang, dan berfungsi untuk mendukung berat atap. Tumpang Sari dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: Bagian sayap (“elar”) dan Bagian dalam (“ulen”).

Rumah
Masyarakat Jawa dengan faham jawanya (“kejawen”) sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan primitif, yang memilki sifat-sifat khusus, seperti: mempertahankan suasana hidup selaras (harmonis) dengan lingkungan kehidupan disekitarnya, yang meliputi: keselarasan hubungan antara manusia dan sesamanya (hubungan antara “kawulo” dan “gusti”), serta hubungan antara manusia dengan lingkungan alam disekitarnya (hubungan antara “microcosmos” dan “macrocosmos”). Kebutuhan hidup manusia Jawa, dapat disederhanakan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: “pangan”, “sandang” dan “papan”.Adapun makna kebutuhan pangan bagi masyarakat Jawa disatu sisi adalah tuntutan akan fisik, sedangkan disisi lain, adalah tuntutan metafisik, seperti: spiritual, rohaniah dan simbolik. Selanjutnya orang Jawa membutuhkan sandang untuk memberikan pengamanan kejiwaan (rasa) dan melindungi diri dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan alamiah maupun sosial. Sedangkan kebutuhan akan “papan”, bagi orang Jawa diartikan sebagai kebutuhan akan: “longkangan” (ruang), “panggonan” (tempat untuk menjalani kehidupan), “panepen” (tempat kediaman /”settle -ment”) dan “palungguhan” (tempat duduk/berinteraksi). Selain itu rumah juga mempunyai arti sebagai perlambang bahwa dirinya telah berhasil dalam kehidupan di dunia atau telah mantap kedudukan sosial ekonominya.

Bentuk dari rumah Jawa dipengaruhi oleh 2 pendekatan yaitu :

1. Pendekatan Geometrik yang dikuasai oleh kekuatan sendiri
2. Pendekatan Geofisik yang tergantung pada kekuatan alam lingkungan.

Bentuk rumah tradisional jawa dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan bentuk. Secara garis besar tempat tinggal orang jawa dapat dibedakan menjadi:
1. Rumah Bentuk Joglo
2. Rumah Bentuk Limasan
3. Rumah bentuk Kampung
4. Rumah Bentuk Masjid dan Tajug atau Tarub
5. Rumah bentuk panggang Pe








Bangunan Tradisional Joglo.
Ciri khas atap joglo, dapat dilihat dari bentuk atapnya yang merupakan perpaduan antara dua buah bidang atap segi tiga dengan dua buah bidang atap trapesium, yang masing-masing mempunyai sudut kemiringan yang berbeda dan tidak sama besar. Atap joglo selalu terletak di tengah-tengah dan selalu lebih tinggi serta diapit oleh atap serambi. Bentuk gabungan antara atap ini ada dua macam, yaitu: Atap Joglo Lambang Sari dan Atap Joglo Lambang Gantung. Atap Joglo Lambang Sari mempunyai ciri dimana gabungan atap Joglo dengan atap Serambi disambung secara menerus, sementara atap Lambang Gantung terdapat lubang angin dan cahaya. Menurut Dakung (1987) terdapat beberapa variasi bentuk bangunan
Joglo diantaranya adalah:
(1). Joglo Lawakan,
(2). Joglo Sinom,
(3). Joglo Jompongan,
(4). Joglo Pangrawit,
(5). Joglo Mangkurat,
(6). Joglo Hageng dan
(7). Joglo Semar Tinandhu.
Joglo Limasan, Joglo Semar Tinandhu, Joglo
Sinom, Joglo Jompongan dan Joglo Pangrawit banyak dipakai rakyat biasa, sedangkan Joglo Mangkurat, Joglo Hageng dan Joglo Semar Tinandhu banyak dipakai kaum bangsawan, maupun abdi dalem keratin (pegawai keraton).


Joglo Semar Tinandhu.



Joglo Semar Tinandu (semar diusung/semar dipikul) diilhami dari bentuk tandu. Joglo ini biasanya digunakan untuk regol atau gerbang kerajaan, dengan ciri- ciri :
* Denah berbentuk persegi panjang
* Pondasi bebatur, yaitu tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah disekelilingnya. Diatas bebatur dipasang umpak yang sudah diberi purus wedokan, umpak ini nantinya akan disambung dengan tiang saka.
* Memakai 2 saka guru sebagai tiang utama yang menyangga atap brunjung dan 8 saka pananggap yang berfungsi sebagai penyangga yang berada diluar saka guru. Bagian bawah tiap saka diberi purus lanang untuk disambung ke purus wedokan dan diperkuat dengan umpak
* Terdapat 2 pengeret sebagai penyangga balok tandu
* Memiliki tumpang 3 tingkat yang ditopang balok tandu
* Atapnya memiliki 4 jenis empyak yaitu; empyak brunjung, empyak cocor pada bagian atas dan empyak penanggap serta empyak penangkur dibagian bawah.
* Pada atap terdapat molo
* Menggunakan usuk rigereh, usuk yang pada bagian atas bersandar pada dudur sedangkan bagian bawah bertumpu pada balok pengeret dan dipasang tegak lurus.
* Biasanya digunakan untuk regol ( pintu masuk)
Karena tiang utama/saka guru pada joglo ini tergantikan oleh tembok sambungan, maka ruang di bawah atap yang lebih tinggi mempunyai besaran ruang sebatas di besaran uleng saja. Udara yang ada masih terpengaruh udara luar, namun terasa lebih sejuk karena ada kemiringan atap yang memberikan perbedaan udara antara ruang luar dengan ruang di dalam joglo.












Pada joglo semar tinandu ini udara bergerak secara lurus melalui celah diantara dua tembok sambungan. Pergerakan udara terjadi secara leluasa, langsung pada bagian tengah joglo ini, karena tidak terhalang oleh tembok, namun pada bagian samping kanan dan kiri, udara tidak bisa mengalir ke sisi sebelahnya, karena terhalang oleh tembok sambungan yang sampai ke puncak joglo. Udaara kembali bergerak ke bawah melewati celah menuju ruang di sebelah tembok sambungan, dan mengalir ke berbagai arah.



Joglo Lambang Sari



Joglo Lambangsari merupakan joglo dengan sistem konstruksi atap menerus. Bentuk ini paling banyak dipakai pada bangunan tradisional jawa.

Bentuk joglo yang menggunakan lambangsari, dengan ciri- ciri :
* Bentuk denah persegi panjang
* Memakai pondasi bebatur, yaitu tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah disekelilingnya. Diatas bebatur ini dipasang umpak yang sudah diberi purus wedokan.
* Terdapat 4 saka guru sebagai penahan atap brunjung yang membentuk ruang pamidangan yang merupakan ruang pusat dan 12 saka pananggap yang menyangga atap pananggap (tiang pengikut), masing-masing saka ditopang oleh umpak menggunakan sistem purus
* Memakai blandar, pengeret, sunduk, serta kilil. masing- masing blandar dan pengeret dilengkapi dengan sunduk dan kili sebagai stabilisator.
* Menggunakan tumpang dengan 5 tingkat. Balok pertama disebut pananggap, balok ke dua disebut tumpang, balok ke tiga dan empat disebut tumpangsari, dan balok terakhir merupakan tutup kepuh yang berfungsi sebagai balok tumpuan ujung- ujung usuk atap.
* Uleng/ruang yang terbentuk oleh balok tumpang di bawah atap ada 2 (uleng ganda)
* Terdapat godhegan sebagai stabilisator yang biasanya berbentuk ragam hias ular-ularan.
* Menggunakan atap sistem empyak. 4 sistem empyak yang digunakan : brunjung dan cocor pada bagian atas, serta pananggap dan penangkur di bagian bawah
* Terdapat balok molo pada bagian paling atas yang diikat oleh kecer dan dudur.
* Menggunakan usuk peniyung yaitu usuk yang dipasang miring atau memusat ke molo. Joglo ini juga tidak memiliki emper












penghawaan pada rumah joglo ini dirancang dengan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. rumah joglo, yang biasanya mempunyai bentuk atap yang bertingkat-tingkat, semakin ke tengah, jarak antara lantai dengan atap yang semakin tinggi dirancang bukan tanpa maksud, tetapi tiap-tiap ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahap-tahap dalam pergerakan manusia menuju ke rumah joglo dengan udara yang dirasakan oleh manusia itu sendiri. Saat manusia berada pada rumah joglo paling pinggir, sebagai perbatasan antara ruang luar dengan ruang dalam, manusia masih merasakan hawa udara dari luar, namun saat manusia bergerak semakin ke tengah, udara yang dirasakan semakin sejuk, hal ini dikarenakan volume ruang di bawah atap, semakin ke tengah semakin besar. Seperti teori yang ada pada fisika bangunan,

Efek volume sebenarnya memanfaatkan prinsip bahwa volume udara yang lebih besar akan menjadi panas lebih lama apabila dibandingkan dengan volume udara yang kecil.

Saat manusia kembali ingin keluar, udara yang terasa kembali mengalami perubahan, dari udara sejuk menuju udara yang terasa diluar ruangan. Dapat dilihat kalau penghawaan pada rumah joglo, memperhatikan penyesuaian tubuh manusia pada cuaca disekitarnya.




Sistem penghawaan pada joglo lambangsari ini, seperti pada sistem penghawaan joglo pada umumnya, angin/udara bergerak sejajar, di seluruh ruang terbuka, pada bagian ruang bagian tengah, yang dibatasi tiang utama/saka guru, udara bergerak ke atas, namun kembali bergerak ke bawah. Hal ini terjadi karena joglo lambangsari tidak memiliki lubang ventilasi, karena memang di desain untuk atap menerus.


Sistim Struktur
Sistim struktur bangunan Joglo, menurut Saragih (1983) 14) dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu:
(1). Sistim Struktur Rangka Utama dan
(2). Sistim Struktur Rangka “Pengarak” (Pengikut).
Sistim Rangka Utama Bangunan Joglo terdiri atas tiga bagian, yaitu: “Brunjung”, “Soko Guru” dan “Umpak”.





Pondasi
Pondasi atau “umpak” yang ditinggikan 70cm menggunakan cor beton dan difinish dengan batu wonosari dimaksudkan sebagai cermin bangunan ini berasal. Ciri khas dari pondasi ini adalah tampilan dan posisi pondasi yang berada diatas tanah bukan berada di dalam tanah. Pondasi ini dapat terlihat dengan mata telanjang.








Gebyong
Gebyog merupakan dinding rumah yg terbuat dari kayu. Gebyog memberikan rasa sejuk disiang hari , dan hangat di malam hari. Gebyog yang di gunakan untuk Omah Limasan ( dalem) dibuat dengan motif ukiran Kudus, buatan baru dari kayu tua/lama. Kerangka Gebyog menyatu dengan konstruksi bangunan.






Motif Ukir






Tiang
Rumah Joglo mempunyai 16 buah tiang atau kolom sebagai penopang konstruksi atap yang terdiri dari 4 buah “saka guru” dengan masing masing tiang berukuran (15cm x 15cm) dan 12 buah tiang emper masing-masing berukuran (11cm x 11cm), serta mempunyai 5 buah “Blandar Tumpang Sari” lengkap dengan “kendhit”atau “koloran” yang berfungsi sebagai balok penyiku konstruksi utama bangunan tersebut. Keseluruhan bangunan asli menggunakan material struktur kayu jati dan mempunyai ukuran 8,4 m x 7,6 m.



Masing-masing tiang memiliki nama sesuai dengan letaknya pada bangunan tersebut. Satu atau beberapa tiang yang menyokong atap yang paling tinggi disebut soko guru, tiang yang letaknya lebih luar dari soko guru adalah soko rowo, sedangkan tiang yang menyokong atap bagian paling luar disebut soko emper.

Selain itu, ada beberapa tiang yang digunakan untuk jenis bangunan beratap joglo yang lainnya, yaitu soko bentung, yang letaknya menggantung di antara bagian atap paling atas dengan atap di bawahnya. Sementara itu, soko santen adalah tiang yang tidak langsung menyokong atap, tapi menyokong gelagar panjang pada bangunan besar beratap joglo.


Atap
Atap berbentuk joglo banyak menggunakan material kayu, mulai dari kayu polos sampai kayu yang penuh ornamen. Hal ini mengakibatkan beban yang harus disalurkan untuk sampai ke tanah oleh masing-masing soko cukup berat. Sebenarnya beban yang dipikul oleh soko dapat dihitung, yaitu dengan cara mengetahui luas area penutup atap yang disokong oleh masing-masing soko. Luas area tersebut kemudian dikalikan dengan beban atap per meter persegi, sehingga didapat beban atap yang harus dipikul oleh masing-masing soko atau tiang. Akibatnya, jumlah beban yang disalurkan oleh soko tersebut harus lebih kecil dibandingkan dengan tegangan tanah per sentimeter persegi. Bila beban yang disalurkan oleh soko lebih besar dari tegangan tanah, maka pondasi akan melesak.
Rangka Atap Joglo dibentuk oleh beberapa elemen bangunan, yaitu: (1). Reng, (2). Usuk, (3). “Molo”, (4). “Ander”, (5). “Dudur” dan (6). “Blandar”. Sedangkan Tumpang Sari adalah balok-balok yang disusun dengan teknik tumpang, dan berfungsi untuk mendukung berat atap. Tumpang Sari dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: Bagian sayap (“elar”) dan Bagian dalam (“ulen”).


No comments:

Post a Comment