We shape our building and afterwards our building shape us...
Winston Churcill, 1943
Arsitektur
dan perilaku memang sulit dipisahkan. Satu yang pasti setelah saya
belajar di asitektur, saya menjadi lebih senang mengamati. Senang
memperhatikan gerak gerik terutama perilaku manusia. Kata perilaku
sendiri menunjukan manusia dalam aksinya, berkaitan dengan semua
aktivitas manusia secara fisik; berupa interaksi manusia dengan
sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya. Di sisi lain, desain
arsitektur akan menghasilkan suatu bentuk fisik yang bisa dilihat dan
bisa dipegang. Krena itu hasil desain arsitektur dapat menjadi salah
satu fasilitator terjadinya perilaku, namun juga bisa menjadi penghalang
terjadinya perilaku.
Kebiasaan
mental dan sikap perilaku seseorang dipengaruhi oleh lingkungan
fisiknya. Drucker (1969) menindikasikan bahwa “sebagian besar yang kita
lihat adalah sesuatu yang ingin kita lihat”. Sementara Von Foester
(1973) menulis bahwa “ apa yang kita bentuk dalam pikiran, itulah
realitas yang kita perhitungkan”. Namun realitas itu tidak selalu
seperti yang diinginkan. Apa yang dibayangkan dalam imajinasi arsitek
pada proses perancangan mungkin akan menghasilkan akibat yang berbeda
pada saat atau setelah proses penempatan/penghunian.
Penandaan
lingkungan yang dilakukan arsitek melalui karyanya dapat
diintrepretasikan secara berbeda oelh penggunanya. Misalkan penggunaan
kaca yang awalnya dimaksudkan untuk memberikan kesan luas atau menyatu
dengan luar ruang, mengakibatkan orang-orang terluka karena
membenturnya, atau menjadikan perlunya penjaga kaca agar orang tidak
salah menabrak. Akibat ini tentu bukan yang diharapkan oleh seorang
arsitek.
Rancangan
yang dianggap baik oleh perancang, mungkin saja diterima penggunanya
sebagai lingkungan yang dingin, membosankan, bahkan tidak ramah. Oleh
karena itu diperlukan perpaduan imajinasi dan pertimabngan akal sehat
dari arsitek. Setiap kali merancang, arsitek membuat asumsi-asumsi
kebutuhan manusia, membuat perkiraan aktivitas dan atau perkiraan
bagaimana manusia berperilaku, bagaimana manusia bergerak dalam
lingkungannya. Kemudian arsitek memutuskan bagaimana lingkungan tersebut
akan dapat melayani manusia pemakai sebaik mungkin. Yang harus
dipertimbangkan tidak hanya melayani kebutuhan pemakai secara
fungsional, rasional, ekonomis, dan dapat dipertanggungjawabkan, tetapi
lingkungan jug aharus dapat mengakomodasi kebutuhan pengguna akan
ekspresi emosionalnya termasuk bersosialisasi dengan sesama.
Dengan
premis dasar bahwa perancangan arsitektur ditujukan untuk manusia maka
untuk mendapatkan perancanganyang baik arsitek perlu mengerti apa yang
menjadi kebutuhan manusia. Atau dengan kata lain mengerti perihal
perilaku manusia dalam arti luas.
No comments:
Post a Comment